BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB paru) masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia
kerja produktif, kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi rendah dan
berpendidikan rendah. Banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan,
penderita dengan basil tahan asam (BTA) positif berisiko menularkan penyakitnya
pada orang lain. Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB.
Diperkirakan setiap tahun ada 9 juta penderita TB baru dengan kematian 3 juta
orang (Depkes, 2000). 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang dan
beban terbesar terutama adalah di Asia Tenggara.
Tuberculosis
paru - paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun yang menyerang parenkim paru - paru yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti
meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Irman somantri, 2008). Kuman ini berbentuk batang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan dan sering disebut
sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat “Dormant”, dormant lama selama beberapa tahun.
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di
Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, namun hal itu terbatas
pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui
Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan
dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang
digunakan adalah paduan standar INH (Iso Niacid Hydrazide), PAS dan
Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian
diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek
yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol selama 6 bulan. Sedangakan di
Indonesia tahun 1995 program nasional penanggulangan TB mulai melaksanakan
strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara bertahap.
Setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130
penderita baru TB paru BTA positif. Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk
of Tuberculosis Infection = ARTI) bervariasi antara 1 - 2 %, berarti setiap
tahun diantara 1000 penduduk Indonesia 10 - 20 orang akan terinfeksi, walaupun
tidak semuanya akan menjadi penderita TB paru (hanya 10% orang terinfeksi akan
menjadi penderita TB paru). Hasil Surkesnas tahun 2001 menyatakan “penyakit
saluran pernafasan merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah kardiovaskuler
dan penyakit infeksi saluran pernafasan pada semua golongan umur, dan penyakit
TB paru penyebab kematian nomor 1 dari golongan penyakit infeksi”.
Penularan tuberkulosis melalui udara dengan inhalasi
droplet nucleus yang mengandung basil tuberkulosis yang kontak serumah atau
langsung tanpa adanya ADP (Alat Pelindung Diri) dengan penderita tuberkulosis
dewasa terutama dengan sputum BTA positif yang belum pernah didiagnosa dan
diobati. WHO menganjurkan imunisasi BCG diberikan pada bayi baru lahir untuk
mencegah infeksi tuberkulosis. Di Indonesia imunisasi BCG masih perlu
dilaksanakan sebagai usaha untuk mencegah tuberkulosis.
Menurut kalangan dokter dan ahli kesehatan masyarakat
menyatakan, “hal itu bisa terjadi apabila komitmen politik para pengambil
kebijakan perlu ditingkatkan agar tersedia sumber daya untuk menanggulangi TB,
seperti ketersediaan obat dan sarana diagnosis”. Rumah sakit, klinik, dan praktik
dokter harus segera diikutsertakan dalam program penanggulangan TB di seluruh
Indonesia. Paling tidak, rumah sakit diberi obat gratis untuk penderita TB dan
disusun sistem pelaporannya. Bukan hanya mengobati para penderita TB, tapi yang
lebih penting adalah mencegah
penularannya. Sebab, lingkungan tempat tinggal yang kumuh serta keadaan
ekonomi yang tidak memadai menjadi salah satu sebab sulit terhindarnya
masyarakat dari sergapan penyakit menular, terutama tuberkulosis.
Karena itu, ada dua hal pokok yang perlu segera
dipikirkan pemerintah. Pertama pencegahan munculnya penyakit, melalui
pembangkitan kesadaran keluarga menjaga kebersihan lingkungan. Dan kedua
adalah, membangkitkan kesadaran keluarga agar terbiasa berobat jika terserang
penyakit atau gangguan kesehatan. Perlu diingat, di daerah - daerah terpencil
selain masyarakat malas berobat sarana kesehatan dan tenaga kesehatan juga
masih jarang.
Menurut medical record RSUP, bahwa penderita
tuberkulosis paru pada tahun 2006 dengan jumlah kasus baru sebanyak 439
orang, pada tahun 2007 dengan jumlah kasus baru sebanyak 253 orang, pada
tahun 2008 dengan jumlah kasus baru sebanyak 523 orang, dan bulan januari hingga
bulan september 2009 didapatkan jumlah kasus sebanyak 356 orang.
Oleh karena itu, penting untuk memeriksakan orang - orang
yang kontak erat dengan penderita TB paru. Dalam program pemberantasan penyakit
tuberkulosis paru, penemuan penderita dilakukan dengan cara pencarian penderita
yang tersangka TB ditengah - tengah keluarga baik secara pasif maupun secara
aktif, untuk diperiksa sputumnya secara mikroskopis langsung. Oleh karena
sangat penting ditemukan penderita sedini mungkin untuk diberi pengobatan
sampai sembuh sehingga tidak lagi membahayakan lingkungannya.
Dari uraian diatas secara tidak langsung mengatakan
bahwa, peran keluarga sangatlah diperlukan karena keluarga merupakan unit yang
paling dekat dengan klien dan merupakan perawat utama bagi klien (Kelliat, 1996).
Peran keluarga merupakan pendorong terjadinya perilaku yang positif dari
seseorang, sehingga pemerintah harus memberikan penyuluhan yang lebih dalam
lagi untuk mewujudkan indonesia sehat.
2.
Rumusan Masalah.
a.
Apa yang dimaksud dengan
Tuberculosis (TB) paru...?
b.
Bagaimana peran pemerintah untuk menanggulangi
TB di Indonesia...?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi Tuberculosis
(TB) paru.
Tuberculosis
paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun yang menyerang parenkim paru - paru yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti
meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Irman somantri, 2008).
B.
Patogenesis.
Sistem imun tubuh berespons
dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan
banyak bakteri; limfosit melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal.
Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli
sehingga menyebabkan bronkopneumonia.
Massa jaringan baru, yang
disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih
hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding
protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral
dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik,
membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk
skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal,
individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respons yang
inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit kembali
aktif terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri yang
dormant. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon
memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronki. Tuberkel yang
memecah menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih
membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut.
Kecuali proses tersebut dapat
dihentikan, penyebarannya dengan lambat akan mengarah ke bawah ke hilum paru - paru dan kemudian meluas ke lobus
yang berdekatan. Proses ini akan berkepanjangan dan ditandai oleh
remisi lama ketika penyakit dihentikan, supaya diikuti dengan periode aktivitas
yang diperbaharui. Kurang lebih 10% individu yang awalnya
terinfeksi mengalami penyakit aktif.
C. Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian Paru.
Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Helper Manalu
mengatakan bahwa 53, 83 % program penanggulangan TB paru disebabkan oleh :
a. Penderita
TB menganggap sakit batuk biasa, sehingga tidak segera berobat ke Puskesmas,
b. Puskesmas
belum dipercaya oleh masyarakat, dan obat yang diberikan oleh puskesmas masih
di anggap tidak manjur,
c. Kinerja
puskesmas belum optimal dalam upaya penanggulangan tuberculosis,
d. Masih
banyak praktek pengobatan yang belum menggunakan strategi DOTS,
e. Kemampuan
pemerintah daerah dalam menyediakan dana sangat terbatas.
Berdasarkan data
dari program pemberantasan TB paru sejak tahun 1995 sebenarnya telah ada obat
yang efektif dan murah, namun pengobatan TBC yang harus dilakukan selama 6
bulan harus diikuti dengan manajemen kasus dan tatalaksana pengobatan yang
baik. Angka drop-out (DO) pengobatan TBC paru secara nasional diperkirakan
tinggi. Hal ini sangat berbahaya, karena penelitian telah memperlihatkan bahwa
pengobatan yang dilakukan dengan tidak teratur akan memberi efek yang lebih
buruk dari pada tidak diobati sama sekali. Resistensi obat terjadi akibat
seseorang tidak berobat tuntas atau bila diberi obat yang keliru akan
memberikan dampak buruk tidak hanya kepada yang bersangkutan tetapi juga kepada
epidemiologi TBC di daerah tersebut. (Kajian riset operasional intensifikasi
pemberantasan penyakit menular tahun 1998 - 1999 - 2003 kerjasama Ditjen P2M
& PLP dan Balitbangkes.
Syafei Hari
Kusnanto pada tahun 2006 yang dikutip oleh Helper dalam studi analisisnya
menggambarkan bahwa, angka pencapaian indikator program P2 TB Paru Dinas
Kesehatan Kota Jambi secara keseluruhan dapat memberikan gambaran dimana ada
beberapa indikator yang belum mencapai
target yaitu penemuan suspek TB Paru, penemuan TB-Paru dengan positif bahkan
masih rendah sekali dan masih adanya droup out (lalai) dan kegagalan dalam
pengobatan. Dari uraian di atas diketahui belum semua petugas P2 TB - Paru atau
baru 50 % mendapat pelatihan tentang P2 TB-Paru dan belum terampilnya petugas
untuk melaksanakan protap penemuan penderita TB-Paru di Puskesmas. Beberapa
petugas program P2 TB-Parupun mengatakan beban kerja cukup berat, pekerjaan
merangkap program lainnya, tidak adanya kompensasi yang bermakna terhadap
prestasi yang mereka capai.
Dari hasil
Riskesdas 2007, diketahui bahwa prevalensi TB paru cenderung meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari 65
tahun. Prevalensi TB paru pada laki - laki 20 % lebih tinggi dibandingkan
perempuan, selain itu prevalensi tiga kali lebih tinggi di pedesaan
dibandingkan perkotaan serta empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah
dibandingkan pendikan tinggi.
D. Patofisiologi
Pertama kali klien terinfeksi
oleh tuberculosis disebut sebagai “infeksi primer” dan biasanya terdapat pada
apeks paru. Infeksi primer mungkin hanya berukuran mikroscopis, dan karenanya
tidak tampak pada foto rontgen. Tempat infeksi primer dapat mengalami proses degenerasi
nekrotik tetapi bisa saja tidak, yang menyebabkan pembentukan rongga yang
terisi oleh masa basil tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih yang mati,
dan jaringan paru yang nekrotik. Pada waktunya,
material tersebut mencair dan dapat mengalir ke
dalam percabangan trakheobronkhial dan dibatukkan. Rongga yang terisi udara tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika dilakukan rontgen
dada.
Sebagian besar tuberkel primer
menyembuh dalam periode bulanan dengan membentuk jaringan parut, dan pada
akhirnya terbentuk lesi pengapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel ghon. Lesi ini dapat mengandung basil yang hidup serta dapat aktif kembali meski
telah bertahun - tahun dormant, dan menyebabkan infeksi
sekunder.
Infeksi TB primer menyebabkan
tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil tuberkel dan proteinnya. Respon
imun seluler ini tampak dalam bentuk sensitisasi sel - sel T dan terdeteksi oleh reaksi positif pada tes kulit tuberkulin.
Perkembangan sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada semua sel - sel tubuh 2 - 6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan dipertahankan selama basil hidup
berada dalam tubuh.
Faktor yang memiliki peran dalam perkembangan TB menjadi penyakit aktif antara lain :
a.
Usia lanju
b.
Imunosupresi
c.
Infeksi
d.
Malnutrisi
e.
Alkoholisme dan penyalahgunaan obat
f.
Adanya keadaan penyakit lain
g.
Predispose genetic
Selain penyakit primer yang
progresif, infeksi sekunder
atau infeksi ulang juga mengarah
pada bentuk klinis TB aktif. Tempat primer infeksi yang mengandung basil TB
dapat tetap dormant selama bertahun - tahun dan kemudian teraktifkan kembali jika daya tahan tubuh menurun. Penting artinya untuk mengkaji kembali secara periodik untuk klien yang pernah terinfeksi TB untuk mengetahui
adanya penyakit aktif yang masih
dormant (Niluh dan Christie,
2003).
a.
Manifestasi Klinis
I.
Demam
Biasanya
subfebris menyerupai demam influenza. Terkadang panas badan dapat mencapai 40 - 41 oC. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang
masuk.
II.
Batuk
Terjadi
batuk > 2 minggu. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat
batuk ini dimulai dari batuk kering, kemudian setelah timbul peradangan, batuk
tersebut menjadi produktif (menghasilkan sputum). Dan apabila
telah parah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah.
III.
Sesak nafas
Sesak nafas
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah dari bagian paru - paru
IV.
Nyeri dada
Nyeri dada
timbul apabila infiltrasi sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
V.
Maleise
Gejala
maleise sering ditemukan berupa anoreksia, BB turun, sakit kepala, nyeri otot,
dan keringat malam. Gejala maleise ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
BAB III
PEMBAHASAN
PROGRAM
PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA
Penanggulangan
Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda
namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB
ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun
1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti
tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH (Iso Niacid
Hydrazide), PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid
(PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan
OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol selama 6
bulan.
Sengakan
di Indonesia tahun 1995 program nasional penanggulangan TB mulai melaksanakan strategi
DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara bertahap. Sampai tahun 2000,
hampir seluruh Puskesmas telah komitmen dan melaksanakan strategi DOTS yang di
integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.
Di
Indonesia, TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
-
Indonesia, sampai saat ini, merupakan
negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.
Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien
TB didunia.
-
Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada
semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi.
-
Sampai tahun 2005, program
Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara
rumah sakit dan BP4 / RSP baru sekitar 30%.
A.
Visi Dan Misi
a. Visi
1.Tuberkulosis
tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
b.
Misi
1.Menjamin bahwa
setiap pasien TB mempunyai akses terhadap pelayanan yang bermutu, untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB
2.Menurunkan
resiko penularan TB
3.Mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat TB
B.
Tujuan Dan
Target
a.
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB,
memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya multidrug resistance (MDR),
sehingga TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.
b.
Target
Target program penanggulangan TB adalah tercapainya
penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan
menyembuhkan 85 % dari semua pasien tersebut serta mempertahankannya. Target
ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB
hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium
development goal (MDG) pada tahun 2015.
C.
Kebijakan
a.
Penanggulangan TB di Indonesia
dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai
titik berat manajemen program yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga,
sarana dan prasarana)
b.
Penanggulangan TB dilaksanakan dengan
menggunakan strategi DOTS
c.
Penguatan kebijakan untuk meningkatkan
komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB
d.
Penguatan strategi DOTS dan
pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses
untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya MDR-TB.
e.
Penemuan dan pengobatan dalam rangka
penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK),
meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP),
Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter
Praktek Swasta (DPS).
f.
Penanggulangan TB dilaksanakan melalui
promosi, penggalangan kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor
pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan TB (Gerdunas TB).
g.
Peningkatan kemampuan laboratorium
diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan
jejaring.
h.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk
penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin
ketersediaannya.
i.
Ketersediaan sumberdaya manusia yang
kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan
kinerja program.
j.
Penanggulangan TB lebih diprioritaskan
kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.
k.
Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga,
masyarakat dan pekerjaannya.
l.
Memperhatikan komitmen internasional
yang termuat dalam Millennium Development Goals (MDGs)
D.
Strategi
a.
Peningkatan komitmen politis yang
berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan
penanggulangan TB suatu prioritas
b.
Pelaksanaan dan pengembangan strategi
DOTS yang bermutu dilaksanakan secara bertahap dan sistematis.
c.
Peningkatan kerjasama dan kemitraan
dengan pihak terkait melalui kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi
sosial
d.
Kerjasama dengan mitra internasional
untuk mendapatkan komitmen dan bantuan sumber daya.
e.
Peningkatan kinerja program melalui
kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi yang
berkesinambungan.
E.
Kegiatan
a.
Penemuan dan pengobatan.
b.
Perencanaan
c.
Pemantauan dan Evaluasi
d.
Peningkatan SDM (pelatihan, supervisi)
e.
Penelitian
f.
Promosi
g.
Kemitraan
F.
Organisasi
Pelaksanaan
a. Tingkat Pusat
Upaya penanggulangan TB dilakukan melalui Gerakan
Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum
lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung
jawab teknis upaya penanggulangan TB.
b.
Tingkat
Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi
yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi
disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
c.
Tingkat
Kabupaten / Kota
Di tingkat kabupaten / kota dibentuk Gerdunas-TB
kabupaten / kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan
struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota.
d.
Unit Pelayanan
Kesehatan
Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik
dan Praktek Dokter Swasta.
1.Puskesmas
Dalam pelaksanaan
di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari
Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5
(lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat
dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas
pemeriksaan sputum BTA.
2.Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Paru (RSP) dan BP4.
Rumah sakit dan BP4
dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB. Rumah sakit dan BP4
dapat merujuk pasien kembali ke puskesmas yang terdekat dengan tempat tinggal
pasien untuk mendapatkan pengobatan dan pengawasan selanjutnya.
3.Balai Pengobatan dan Dokter Praktek Swasta (DPS).
Secara umum konsep
pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit
dan BP4. Klinik dan DPS dapat merujuk pasien dan spesimen ke puskesmas, rumah
sakit atau BP4.
G.
Kerangka Kerja
Strategi Penanggulangan Tuberkulosis 2006 - 20120
Rencana strategi
2001-2005 telah meletakan dasar-dasar strategi DOTS yang telah membawa program
Pengendalian Tuberkulosis menunjukkan akselerasi dalam pencapaiannya.
Diharapkan dalam 5 tahun kedepan Indonesia dapat menurunkan angka prevalensi
kasus BTA (+). Untuk itu diperlukan suatu strategi dalam pencapaian target yang
telah ditetapkan. Strategi ini terbagi atas strategi umum dan strategi khusus.
a.
Strategi Umum
Strategi ini meliputi :
1.Ekspansi Program
Pengendalian Tuberkulosis
Strategi dapat berupa konsolidasi lebih lanjut untuk
mempertahankan cakupan dan mutu strategi DOTS.
i.
Memperluas dan meningkatkan pelayanan
DOTS yang bermutu. Pelayanan harus menjangkau semua orang tanpa membedakan
latar belakang. Kelompok masyarakat rentan umumnya memiliki keterbatasan dalam
hal akses pelayanan. Pemanfaatan pelayanan dan pengobatan yang bermutu adalah
hak semua lapisan masyarakat.
ii.
Menghadapi tantangan TB-HIV, MDR-TB dan
tantangan lainnya Epidemi HIV merupakan ancaman bagi program kedepan yang harus
diantisipasi. Sedangkan MDR TB merupakan risiko dari upaya ekspansi strategi
DOTS, dimana keadaan ini bila tidak diantisipasi dengan baik akan menyebabkan
meningkatnya biaya yang diperlukan untuk mengendalikan pasien MDR TB, yang pada
akhirnya tidak terjangkau dalam pembiayaan sistim kesehatan nasional.
iii.
Melibatkan seluruh penyedia pelayanan
Kesehatan Masih banyak penyedia pelayanan kesehatan belum menerapkan strategi
DOTS sehingga kedepan dalam upaya mencapai target dan meningkatkan akses
masyarakat terhadap pengobatan maka keterlibatan seluruh penyedia pelayanan
kesehatan menjadi penting dengan tetap mempertahankan mutu.
2.Melibatkan
Masyarakat Dan Mantan Pasien
Permasalahan yang berkaitan dengan akses, pembiayaan
pengobatan TB bagi pasien, optimalisasi infrastruktur dan sumber daya manusia
yang tersedia dapat dikurangi dengan pelayanan DOTS berbasis masyarakat.
b.
Strategi
Khusus (Fungsional)
Pencapaian misi penanggulangan TB melalui ekspansi
dan mobilisasi masyarakat harus didukung oleh strategi untuk memperkuat
fungsi-fungsi manajerial dalam program. Adapun strategi fungsional tersebut:
1.Memperkuat
kebijakan dan membangun kepemilikan daerah terhadap program.
2.Memberikan
kontribusi dalam penguatan sistim kesehatan dan pengelolaan program.
3.Memperkuat
penelitian operasional.
H.
Prinsip Dasar
Tatalaksana Pasien Tuberkulosis
Penatalaksanaan
TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan
strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka
kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan
pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit;
tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi
juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang
terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.
a.
Penemuan
Pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan
suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan
pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB.
Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan
sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di
masyarakat.
Strategi Penemuan
i.
Penemuan pasien TB dilakukan secara
pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit
pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
pasien TB.
ii.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB,
terutama mereka yang BTA positif, yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.
iii.
Penemuan secara aktif dari rumah ke
rumah, dianggap tidak cost efektif.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak
selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat
dijumpai pula pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis
kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia
saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan
perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
b.
Diagnosis TB
1.Semua suspek TB
diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
2.Diagnosis TB
Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
3.Tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks
tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
4.Gambaran
kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
5.Untuk lebih
jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
Diagnosis TB Ekstra Paru
a)
Gejala dan keluhan tergantung organ yang
terkena, misalnya kaku kuduk ada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lainlainnya.
b)
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan
sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang
kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan
diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan
alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi,
foto toraks dan lain-lain.
Ilustrasi gambar diagnosis TB paru
Suspek TB paru
|
Foto toraks dan pertimbangan dokter
|
Foto toraks dan pertimbangan dokter
|
Hasil BTA
+ - -
|
Hasil BTA
+ + +
+ + -
|
Hasil BTA
- - -
|
Antibiotik non - OAT
|
Tidak ada perbaikan
|
Ada perbaikan
|
Pemeriksaan mikroskopis
|
Hasil BTA
- - -
|
Hasil BTA
+ + +
+ + -
+ - -
|
TB
|
Bukan TB
|
Pemerikasaan dahak mikroskopik
(Sewaktu - Pagi - Sewaktu)
|
Pada
keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis spesialistik,
alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.
c.
Klasifikasi
Penyakit Dan Tipe Pasien
1.
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe
pasien tuberkulosis memerlukan suatu ‘definisi kasus’ yang meliputi empat hal ,
yaitu :
i.
Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru
atau ekstra paru;
ii.
Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak
secara mikroskopis) : BTA positif atau BTA negatif;
iii.
Tingkat keparahan penyakit : ringan atau
berat.
iv.
Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru
atau sudah pernah diobati
2.Manfaat
dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
i.
Menentukan paduan pengobatan yang sesuai,
ii.
Registrasi kasus secara benar,
iii.
Menentukan prioritas pengobatan TB
BTA(+)
iv.
Analisis kohort hasil pengobatan
3.Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh Yang Terkena
i.
Tuberkulosis
Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
ii.
Tuberkulosis
Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
4.Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak
Mikroskopis
i.
Tuberkulosis Paru
BTA Positif
a) Sekurang-kurangnya
2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c) 1
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau
lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
ii.
Tuberkulosis Paru
BTA Negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
a) Paling
tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif,
b) Foto
toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis,
c) Tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
d) Ditentukan
(dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
5.Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
i.
TB Paru BTA Negatif
Foto Toraks Positif
Dalam hal ini dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya
proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
ii.
TB Ekstra Paru
Sedangkan dalam hal ini dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
a)
TB ekstra paru ringan, misalnya : TB
kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b)
TB ekstra-paru berat, misalnya :
meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
• Bila
seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan
pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
• Bila
seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
d.
Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
1.Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2.Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3.Kasus Setelah Putus Berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2
bulan atau lebih dengan BTA positif.
4.Kasus Setelah Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5.Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6.Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan
hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
e. Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan serta memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Obat
|
Dosis
harian
(mg/kgbb/hari) |
Dosis
2x/minggu
(mg/kgbb/hari) |
Dosis
3x/minggu
(mg/kgbb/hari) |
INH
|
5
mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg)
|
15
mg/KgBB/hari (maksimal 900 mg)
|
15
mg/KgBB/hari (maksimal 900 mg)
|
Rifampisin
|
10
mg/KgBB/hari (maksimal 600 mg)
|
10
mg/KgBB/hari (maksimal 600 mg)
|
10
mg/KgBB/hari (maksimal 600 mg)
|
Pirazinamid
|
15 - 30
mg/KgBB/hari (maksimal 2 g)
|
50 - 70
mg/KgBB/hari (maksimal 4 g)
|
50 - 70 mg/KgBB/hari (maksimal 3 g)
|
Etambutol
|
15 - 30 mg/KgBB/hari (maksimal 2,5 g)
|
50 mg/KgBB/hari
|
25 - 30 mg/KgBB/hari
|
Streptomisin
|
15
mg/KgBB/hari (maksimal 1 g)
|
25 - 30 mg/KgBB/hari (maksimal 1,5 g)
|
25 - 30 mg/KgBB/hari
(maksimal 1 g)
|
f. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip -
prinsip sebagai berikut :
1.OAT harus diberikan
dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat
sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) .
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
2.Untuk menjamin
kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3.Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
i.
Tahap Awal
(Intensif)
a)
Pada tahap intensif (awal) pasien
mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
b)
Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu.
c)
Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
ii.
Tahap Lanjutan
a)
Pada tahap lanjutan pasien mendapat
jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
b)
Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
g.
Pengawasan
Menelan Obat
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan
OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
1.Persyaratan PMO
i.
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan
disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani
dan dihormati oleh pasien.
ii.
Seseorang yang tinggal dekat dengan
pasien.
iii.
Bersedia membantu pasien dengan
sukarela.
iv.
Bersedia dilatih dan atau mendapat
penyuluhan bersama-sama dengan pasien
i.
Siapa yang bisa menjadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya
Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain.
Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
1. Tugas
seorang PMO
a. Mengawasi
pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
b. Memberi
dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c. Mengingatkan
pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
d. Memberi
penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
2. Informasi
penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:
a. TB dapat
disembuhkan dengan berobat teratur
b. TB bukan
penyakit keturunan atau kutukan
c. Cara
penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d. Cara pemberian
pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e. Pentingnya
pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f. Kemungkinan
terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK
h.
Pemantauan Dan
Hasil Pengobatan TB
i.
Pemantauan kemajuan
pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang
dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan
radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak
digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu
spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif.
ii.
Hasil
Pengobatan
1.
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan
pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
2.
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
3.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan
karena sebab apapun.
4.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan
register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
5.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
6.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Tuberculosis
paru - paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun yang menyerang parenkim paru - paru yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti
meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Irman somantri, 2008).
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di
Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada
kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai
Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan
secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan
adalah paduan standar INH (Iso Niacid Hydrazide), PAS dan Streptomisin selama
satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid.
Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH,
Rifampisin dan Ethambutol selama 6 bulan. Sengakan di Indonesia tahun 1995
program nasional penanggulangan TB mulai melaksanakan strategi DOTS dan
menerapkannya pada Puskesmas secara bertahap.
Saran
Peran
pemerintah dalam meningkatkan taraf atau status kesehatan masyarakat sangatlah
mengambil andil yang sangat besar. Akan tetapi, hal ini (keikutsertaan
pemerintah) masih kurang “menjamurnya” penanggulangan, ketidak tahuan masyarakat,
dan tidak terjangkaunya desa terpencil. Hal inilah yang menjadi momok
permasalahan yang menyebabkan masih kurang efektifnya penanggulangan yang
dilakukan oleh pemerintah.
Mudah
- mudahan makalah ini bisa bermanfaat terutama kepada penulis dan pembaca.
Makalah ini jauh dari sempurna, maka diharapakan kritik dan saran guna untuk
memperbaiki ketidaksempurnaan yang terdapat dalam makalah ini.
DARTAR
PUSTAKA
Latief,
Dini. (2004).
Tuberkulosis paru, hal 12 - 30. Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular
Tahun 1998/1999 - 2003.
Diakses 09 Mei 2013, 8:06:37.
Manaf, Abdul. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi ke - 2 cetakan
pertama departeman kesehatan republik indonesia 2006, hal 8 - 28.
Manalu, Helper. (2009). Faktor - Faktor Yang
Mempengaruhi Kejadian TB Paru Dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal
Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 - 1346. Di akses 09 Mei
2013, 8:06:27
Mansjoer, Arif. (2001). Tuberkulosir Paru. Kapita selekta kedokteran edisi ke - 3 jilid 1, hal
472 - 276. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2001.
Misnaniarti. (2009). Desentralisasi
Kesehatan Dan Dampaknya Terhadap Program Pemberantasan Penyakit Menular. Jurnal
Pembangunan Manusia Vol.9 No.3 Tahun 2009.
Di akses 09 Mei 2013, 8:06:39
Sarjan. (2008). Program
penanggulangan penyakit TB paru, hal 19 - 23. Pengembangan
Sistem Informasi Program Tuberkulosis (Tb) Untuk Mendukung Evaluasi Program
Penanggulangan Penyakit Tb Di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi. Di akses 09
Mei 2013, 8:06:41