Rabu, 05 Juni 2013


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB paru) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia kerja produktif, kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah. Banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, penderita dengan basil tahan asam (BTA) positif berisiko menularkan penyakitnya pada orang lain. Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB. Diperkirakan setiap tahun ada 9 juta penderita TB baru dengan kematian 3 juta orang (Depkes, 2000). 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang dan beban terbesar terutama adalah di Asia Tenggara.
Tuberculosis paru - paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun yang menyerang parenkim paru - paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Irman somantri, 2008). Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan dan sering disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat “Dormant”, dormant lama selama beberapa tahun.
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, namun hal itu terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH (Iso Niacid Hydrazide), PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol selama 6 bulan. Sedangakan di Indonesia tahun 1995 program nasional penanggulangan TB mulai melaksanakan strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara bertahap.
Setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA positif. Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) bervariasi antara 1 - 2 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk Indonesia 10 - 20 orang akan terinfeksi, walaupun tidak semuanya akan menjadi penderita TB paru (hanya 10% orang terinfeksi akan menjadi penderita TB paru). Hasil Surkesnas tahun 2001 menyatakan “penyakit saluran pernafasan merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran pernafasan pada semua golongan umur, dan penyakit TB paru penyebab kematian nomor 1 dari golongan penyakit infeksi”.
Penularan tuberkulosis melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung basil tuberkulosis yang kontak serumah atau langsung tanpa adanya ADP (Alat Pelindung Diri) dengan penderita tuberkulosis dewasa terutama dengan sputum BTA positif yang belum pernah didiagnosa dan diobati. WHO menganjurkan imunisasi BCG diberikan pada bayi baru lahir untuk mencegah infeksi tuberkulosis. Di Indonesia imunisasi BCG masih perlu dilaksanakan sebagai usaha untuk mencegah tuberkulosis.
Menurut kalangan dokter dan ahli kesehatan masyarakat menyatakan, “hal itu bisa terjadi apabila komitmen politik para pengambil kebijakan perlu ditingkatkan agar tersedia sumber daya untuk menanggulangi TB, seperti ketersediaan obat dan sarana diagnosis”. Rumah sakit, klinik, dan praktik dokter harus segera diikutsertakan dalam program penanggulangan TB di seluruh Indonesia. Paling tidak, rumah sakit diberi obat gratis untuk penderita TB dan disusun sistem pelaporannya. Bukan hanya mengobati para penderita TB, tapi yang lebih penting adalah mencegah penularannya. Sebab, lingkungan tempat tinggal yang kumuh serta keadaan ekonomi yang tidak memadai menjadi salah satu sebab sulit terhindarnya masyarakat dari sergapan penyakit menular, terutama tuberkulosis.
Karena itu, ada dua hal pokok yang perlu segera dipikirkan pemerintah. Pertama pencegahan munculnya penyakit, melalui pembangkitan kesadaran keluarga menjaga kebersihan lingkungan. Dan kedua adalah, membangkitkan kesadaran keluarga agar terbiasa berobat jika terserang penyakit atau gangguan kesehatan. Perlu diingat, di daerah - daerah terpencil selain masyarakat malas berobat sarana kesehatan dan tenaga kesehatan juga masih jarang.
Menurut medical record RSUP, bahwa penderita tuberkulosis paru pada tahun 2006 dengan jumlah kasus baru sebanyak 439  orang,  pada tahun 2007 dengan jumlah kasus baru sebanyak 253 orang, pada tahun 2008 dengan jumlah kasus baru sebanyak 523 orang, dan bulan januari hingga bulan september 2009 didapatkan jumlah kasus sebanyak 356 orang.
Oleh karena itu, penting untuk memeriksakan orang - orang yang kontak erat dengan penderita TB paru. Dalam program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru, penemuan penderita dilakukan dengan cara pencarian penderita yang tersangka TB ditengah - tengah keluarga baik secara pasif maupun secara aktif, untuk diperiksa sputumnya secara mikroskopis langsung. Oleh karena sangat penting ditemukan penderita sedini mungkin untuk diberi pengobatan sampai sembuh sehingga tidak lagi membahayakan lingkungannya.
Dari uraian diatas secara tidak langsung mengatakan bahwa, peran keluarga sangatlah diperlukan karena keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan perawat utama bagi klien (Kelliat, 1996). Peran keluarga merupakan pendorong terjadinya perilaku yang positif dari seseorang, sehingga pemerintah harus memberikan penyuluhan yang lebih dalam lagi untuk mewujudkan indonesia sehat.

2.      Rumusan Masalah.
a.       Apa yang dimaksud dengan Tuberculosis (TB) paru...?
b.      Bagaimana peran pemerintah untuk menanggulangi TB di Indonesia...?




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi Tuberculosis (TB) paru.
Tuberculosis paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun yang menyerang parenkim paru - paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Irman somantri, 2008).

B.     Patogenesis.
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli sehingga menyebabkan bronkopneumonia.
Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit kembali aktif terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri yang dormant. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronki. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut.
Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat akan mengarah ke bawah ke hilum paru - paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses ini akan berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan, supaya diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Kurang lebih 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif.

C.     Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Paru.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh  Helper Manalu mengatakan bahwa 53, 83 % program penanggulangan TB paru disebabkan oleh :
a.       Penderita TB menganggap sakit batuk biasa, sehingga tidak segera berobat ke Puskesmas,
b.      Puskesmas belum dipercaya oleh masyarakat, dan obat yang diberikan oleh puskesmas masih di anggap tidak manjur,
c.       Kinerja puskesmas belum optimal dalam upaya penanggulangan tuberculosis,
d.      Masih banyak praktek pengobatan yang belum menggunakan strategi DOTS,
e.       Kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan dana sangat terbatas.

Berdasarkan data dari program pemberantasan TB paru sejak tahun 1995 sebenarnya telah ada obat yang efektif dan murah, namun pengobatan TBC yang harus dilakukan selama 6 bulan harus diikuti dengan manajemen kasus dan tatalaksana pengobatan yang baik. Angka drop-out (DO) pengobatan TBC paru secara nasional diperkirakan tinggi. Hal ini sangat berbahaya, karena penelitian telah memperlihatkan bahwa pengobatan yang dilakukan dengan tidak teratur akan memberi efek yang lebih buruk dari pada tidak diobati sama sekali. Resistensi obat terjadi akibat seseorang tidak berobat tuntas atau bila diberi obat yang keliru akan memberikan dampak buruk tidak hanya kepada yang bersangkutan tetapi juga kepada epidemiologi TBC di daerah tersebut. (Kajian riset operasional intensifikasi pemberantasan penyakit menular tahun 1998 - 1999 - 2003 kerjasama Ditjen P2M & PLP dan Balitbangkes.
Syafei Hari Kusnanto pada tahun 2006 yang dikutip oleh Helper dalam studi analisisnya menggambarkan bahwa, angka pencapaian indikator program P2 TB Paru Dinas Kesehatan Kota Jambi secara keseluruhan dapat memberikan gambaran dimana ada beberapa indikator yang belum  mencapai target yaitu penemuan suspek TB Paru, penemuan TB-Paru dengan positif bahkan masih rendah sekali dan masih adanya droup out (lalai) dan kegagalan dalam pengobatan. Dari uraian di atas diketahui belum semua petugas P2 TB - Paru atau baru 50 % mendapat pelatihan tentang P2 TB-Paru dan belum terampilnya petugas untuk melaksanakan protap penemuan penderita TB-Paru di Puskesmas. Beberapa petugas program P2 TB-Parupun mengatakan beban kerja cukup berat, pekerjaan merangkap program lainnya, tidak adanya kompensasi yang bermakna terhadap prestasi yang mereka capai.
Dari hasil Riskesdas 2007, diketahui bahwa prevalensi TB paru cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari 65 tahun. Prevalensi TB paru pada laki - laki 20 % lebih tinggi dibandingkan perempuan, selain itu prevalensi tiga kali lebih tinggi di pedesaan dibandingkan perkotaan serta empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan pendikan tinggi.

D.    Patofisiologi
Pertama kali klien terinfeksi oleh tuberculosis disebut sebagai “infeksi primer” dan biasanya terdapat pada apeks paru. Infeksi primer mungkin hanya berukuran mikroscopis, dan karenanya tidak tampak pada foto rontgen. Tempat infeksi primer dapat mengalami proses degenerasi nekrotik tetapi bisa saja tidak, yang menyebabkan pembentukan rongga yang terisi oleh masa basil tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih yang mati, dan jaringan paru yang nekrotik. Pada waktunya, material tersebut mencair dan dapat mengalir ke dalam percabangan trakheobronkhial dan dibatukkan. Rongga yang terisi udara tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika dilakukan rontgen dada.
Sebagian besar tuberkel primer menyembuh dalam periode bulanan dengan membentuk jaringan parut, dan pada akhirnya terbentuk lesi pengapuran yang juga dikenal sebagai tuberkel ghon. Lesi ini dapat mengandung basil yang hidup serta dapat aktif kembali meski telah bertahun - tahun dormant, dan menyebabkan infeksi sekunder.
Infeksi TB primer menyebabkan tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil tuberkel dan proteinnya. Respon imun seluler ini tampak dalam bentuk sensitisasi sel - sel T dan terdeteksi oleh reaksi positif pada tes kulit tuberkulin. Perkembangan sensitivitas tuberkulin ini terjadi pada semua sel - sel tubuh 2 - 6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan dipertahankan selama basil hidup berada dalam tubuh.
Faktor yang memiliki peran dalam perkembangan TB menjadi penyakit aktif antara lain :
a.       Usia lanju
b.      Imunosupresi
c.       Infeksi
d.      Malnutrisi
e.       Alkoholisme dan penyalahgunaan obat
f.       Adanya keadaan penyakit lain
g.      Predispose genetic

Selain penyakit primer yang progresif, infeksi sekunder atau infeksi ulang juga mengarah pada bentuk klinis TB aktif. Tempat primer infeksi yang mengandung basil TB dapat tetap dormant selama bertahun - tahun dan kemudian teraktifkan kembali jika daya tahan tubuh menurun. Penting artinya untuk mengkaji kembali secara periodik untuk klien yang pernah terinfeksi TB untuk mengetahui adanya penyakit aktif yang masih dormant (Niluh dan Christie, 2003). 
a.       Manifestasi Klinis
                                                             I.            Demam
Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Terkadang panas badan dapat mencapai 40 - 41 oC. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
                                                          II.            Batuk
Terjadi batuk > 2 minggu. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk ini dimulai dari batuk kering, kemudian setelah timbul peradangan, batuk tersebut menjadi produktif (menghasilkan sputum). Dan apabila telah parah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
                                                       III.            Sesak nafas
Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah dari bagian paru - paru
                                                       IV.            Nyeri dada
Nyeri dada timbul apabila infiltrasi sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
                                                          V.            Maleise
Gejala maleise sering ditemukan berupa anoreksia, BB turun, sakit kepala, nyeri otot, dan keringat malam. Gejala maleise ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.



BAB III
PEMBAHASAN

PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH (Iso Niacid Hydrazide), PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol selama 6 bulan.
Sengakan di Indonesia tahun 1995 program nasional penanggulangan TB mulai melaksanakan strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara bertahap. Sampai tahun 2000, hampir seluruh Puskesmas telah komitmen dan melaksanakan strategi DOTS yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.
Di Indonesia, TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
-       Indonesia, sampai saat ini, merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia.
-       Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi.
-       Sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan BP4 / RSP baru sekitar 30%.

A.    Visi Dan Misi
a.       Visi
1.Tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
b.      Misi
1.Menjamin bahwa setiap pasien TB mempunyai akses terhadap pelayanan yang bermutu, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB
2.Menurunkan resiko penularan TB
3.Mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB

B.     Tujuan Dan Target
a.       Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya multidrug resistance (MDR), sehingga TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.
b.      Target
Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85 % dari semua pasien tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium development goal (MDG) pada tahun 2015.

C.     Kebijakan
a.       Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana)
b.      Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
c.       Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB
d.      Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB.
e.       Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS).
f.       Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB).
g.      Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.
h.      Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.
i.        Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
j.        Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.
k.      Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
l.        Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium Development Goals (MDGs)

D.    Strategi
a.       Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas
b.      Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara bertahap dan sistematis.
c.       Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melalui kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial
d.      Kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan sumber daya.
e.       Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan.

E.     Kegiatan
a.       Penemuan dan pengobatan.
b.      Perencanaan
c.       Pemantauan dan Evaluasi
d.      Peningkatan SDM (pelatihan, supervisi)
e.       Penelitian
f.       Promosi
g.      Kemitraan

F.      Organisasi Pelaksanaan
a.       Tingkat Pusat
Upaya penanggulangan TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis upaya penanggulangan TB.
b.      Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
c.       Tingkat Kabupaten / Kota
Di tingkat kabupaten / kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota.
d.      Unit Pelayanan Kesehatan
Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Praktek Dokter Swasta.
1.Puskesmas
Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.
2.Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Paru (RSP) dan BP4.
Rumah sakit dan BP4 dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB. Rumah sakit dan BP4 dapat merujuk pasien kembali ke puskesmas yang terdekat dengan tempat tinggal pasien untuk mendapatkan pengobatan dan pengawasan selanjutnya.
3.Balai Pengobatan dan Dokter Praktek Swasta (DPS).
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan BP4. Klinik dan DPS dapat merujuk pasien dan spesimen ke puskesmas, rumah sakit atau BP4.

G.    Kerangka Kerja Strategi Penanggulangan Tuberkulosis 2006 - 20120
Rencana strategi 2001-2005 telah meletakan dasar-dasar strategi DOTS yang telah membawa program Pengendalian Tuberkulosis menunjukkan akselerasi dalam pencapaiannya. Diharapkan dalam 5 tahun kedepan Indonesia dapat menurunkan angka prevalensi kasus BTA (+). Untuk itu diperlukan suatu strategi dalam pencapaian target yang telah ditetapkan. Strategi ini terbagi atas strategi umum dan strategi khusus.
a.       Strategi Umum
Strategi ini meliputi :
1.Ekspansi Program Pengendalian Tuberkulosis
Strategi dapat berupa konsolidasi lebih lanjut untuk mempertahankan cakupan dan mutu strategi DOTS.
                                                                                i.            Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu. Pelayanan harus menjangkau semua orang tanpa membedakan latar belakang. Kelompok masyarakat rentan umumnya memiliki keterbatasan dalam hal akses pelayanan. Pemanfaatan pelayanan dan pengobatan yang bermutu adalah hak semua lapisan masyarakat.
                                                                              ii.            Menghadapi tantangan TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya Epidemi HIV merupakan ancaman bagi program kedepan yang harus diantisipasi. Sedangkan MDR TB merupakan risiko dari upaya ekspansi strategi DOTS, dimana keadaan ini bila tidak diantisipasi dengan baik akan menyebabkan meningkatnya biaya yang diperlukan untuk mengendalikan pasien MDR TB, yang pada akhirnya tidak terjangkau dalam pembiayaan sistim kesehatan nasional.
                                                                            iii.            Melibatkan seluruh penyedia pelayanan Kesehatan Masih banyak penyedia pelayanan kesehatan belum menerapkan strategi DOTS sehingga kedepan dalam upaya mencapai target dan meningkatkan akses masyarakat terhadap pengobatan maka keterlibatan seluruh penyedia pelayanan kesehatan menjadi penting dengan tetap mempertahankan mutu.
2.Melibatkan Masyarakat Dan Mantan Pasien
Permasalahan yang berkaitan dengan akses, pembiayaan pengobatan TB bagi pasien, optimalisasi infrastruktur dan sumber daya manusia yang tersedia dapat dikurangi dengan pelayanan DOTS berbasis masyarakat.

b.      Strategi Khusus (Fungsional)
Pencapaian misi penanggulangan TB melalui ekspansi dan mobilisasi masyarakat harus didukung oleh strategi untuk memperkuat fungsi-fungsi manajerial dalam program. Adapun strategi fungsional tersebut:
1.Memperkuat kebijakan dan membangun kepemilikan daerah terhadap program.
2.Memberikan kontribusi dalam penguatan sistim kesehatan dan pengelolaan program.
3.Memperkuat penelitian operasional.

H.    Prinsip Dasar Tatalaksana Pasien Tuberkulosis
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.
a.       Penemuan Pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi Penemuan
                                                                                i.            Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
                                                                              ii.            Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif, yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
                                                                            iii.            Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

b.      Diagnosis TB
1.Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2.Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3.Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
4.Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
5.Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

Diagnosis TB Ekstra Paru
a)      Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk  ada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya.
b)      Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.





Ilustrasi gambar diagnosis TB paru
Suspek TB paru
Foto toraks dan pertimbangan dokter
Foto toraks dan pertimbangan dokter
Hasil BTA
+ - -
Hasil BTA
+ + +
+ + -
Hasil BTA
- - -
Antibiotik non - OAT
Tidak ada perbaikan
Ada perbaikan
Pemeriksaan mikroskopis
Hasil BTA
- - -
Hasil BTA
+ + +
+ + -
+ - -
TB
Bukan TB
Pemerikasaan dahak mikroskopik (Sewaktu - Pagi - Sewaktu)
 
























Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.
c.       Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Pasien
1.    Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu ‘definisi kasus’ yang meliputi empat hal , yaitu :
                                                                                i.            Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
                                                                              ii.            Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau BTA negatif;
                                                                            iii.            Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat.
                                                                            iv.            Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
2.Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
                                                                                i.            Menentukan paduan pengobatan yang sesuai,
                                                                              ii.            Registrasi kasus secara benar,
                                                                            iii.            Menentukan prioritas pengobatan TB BTA(+)
                                                                            iv.            Analisis kohort hasil pengobatan
3.Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh Yang Terkena
                                                                                i.            Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
                                                                              ii.            Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
4.Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
                                                                                i.            Tuberkulosis Paru BTA Positif
a)      Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b)      1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c)      1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d)     1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
                                                                              ii.            Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
a)      Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif,
b)      Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis,
c)      Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
d)     Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

5.Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
                                                                                i.            TB Paru BTA Negatif Foto Toraks Positif
Dalam hal ini dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
                                                                              ii.            TB Ekstra Paru
Sedangkan dalam hal ini dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
a)      TB ekstra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b)      TB ekstra-paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
    Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
    Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.


d.      Tipe Pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
1.Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2.Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3.Kasus Setelah Putus Berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4.Kasus Setelah Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5.Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6.Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.


e.       Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan serta memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.


Obat
Dosis harian
(mg/kgbb/hari)
Dosis 2x/minggu
(mg/kgbb/hari)
Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari)
INH
5 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg)
15 mg/KgBB/hari (maksimal 900 mg)
15 mg/KgBB/hari (maksimal 900 mg)
Rifampisin
10 mg/KgBB/hari (maksimal 600 mg)
10 mg/KgBB/hari (maksimal 600 mg)
10 mg/KgBB/hari (maksimal 600 mg)
Pirazinamid
15 - 30 mg/KgBB/hari (maksimal 2 g)
50 - 70 mg/KgBB/hari (maksimal 4 g)
50 - 70 mg/KgBB/hari (maksimal 3 g)
Etambutol
15 - 30 mg/KgBB/hari (maksimal 2,5 g)
50 mg/KgBB/hari
25 - 30 mg/KgBB/hari
Streptomisin
15 mg/KgBB/hari (maksimal 1 g)
25 - 30 mg/KgBB/hari (maksimal 1,5 g)
25 - 30 mg/KgBB/hari (maksimal 1 g)

f.       Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut :
1.OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2.Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3.Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
                                                                                i.            Tahap Awal (Intensif)
a)      Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b)      Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c)      Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
                                                                              ii.            Tahap Lanjutan
a)      Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama
b)      Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

g.      Pengawasan Menelan Obat
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
1.Persyaratan PMO
                                                                                i.            Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
                                                                              ii.            Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
                                                                            iii.            Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
                                                                            iv.            Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
                                                              i.                        Siapa yang bisa menjadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
1.      Tugas seorang PMO
a.       Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
b.      Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c.       Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
d.      Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
2.      Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:
a.       TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
b.      TB bukan penyakit keturunan atau kutukan
c.       Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d.      Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e.       Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f.       Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK

h.      Pemantauan Dan Hasil Pengobatan TB
                                                              i.                        Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
                                                            ii.                        Hasil Pengobatan
1.      Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
2.      Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
3.      Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
4.      Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
5.      Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
6.      Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Tuberculosis paru - paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi kronis atau menahun yang menyerang parenkim paru - paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Irman somantri, 2008).
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH (Iso Niacid Hydrazide), PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol selama 6 bulan. Sengakan di Indonesia tahun 1995 program nasional penanggulangan TB mulai melaksanakan strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara bertahap.

Saran
Peran pemerintah dalam meningkatkan taraf atau status kesehatan masyarakat sangatlah mengambil andil yang sangat besar. Akan tetapi, hal ini (keikutsertaan pemerintah) masih kurang “menjamurnya” penanggulangan, ketidak tahuan masyarakat, dan tidak terjangkaunya desa terpencil. Hal inilah yang menjadi momok permasalahan yang menyebabkan masih kurang efektifnya penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah.
Mudah - mudahan makalah ini bisa bermanfaat terutama kepada penulis dan pembaca. Makalah ini jauh dari sempurna, maka diharapakan kritik dan saran guna untuk memperbaiki ketidaksempurnaan yang terdapat dalam makalah ini.

DARTAR PUSTAKA

Latief, Dini. (2004). Tuberkulosis paru, hal 12 - 30. Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular Tahun 1998/1999 - 2003. Diakses 09 ‎Mei ‎2013, ‏‎8:06:37.
Manaf, Abdul. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi ke - 2 cetakan pertama departeman kesehatan republik indonesia 2006, hal 8 - 28.
Manalu, Helper. (2009). Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru Dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 - 1346. Di akses ‎09 ‎Mei ‎2013, ‏‎8:06:27
Mansjoer, Arif. (2001). Tuberkulosir Paru. Kapita selekta kedokteran edisi ke - 3 jilid 1, hal 472 - 276. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2001.
Misnaniarti. (2009). Desentralisasi Kesehatan Dan Dampaknya Terhadap Program Pemberantasan Penyakit Menular. Jurnal Pembangunan Manusia Vol.9 No.3 Tahun 2009. Di akses 09 ‎Mei ‎2013, ‏‎8:06:39
Sarjan. (2008). Program penanggulangan penyakit TB paru, hal 19 - 23. Pengembangan Sistem Informasi Program Tuberkulosis (Tb) Untuk Mendukung Evaluasi Program Penanggulangan Penyakit Tb Di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi. Di akses 09 ‎Mei ‎2013, ‏‎8:06:41